Selasa, 21 Oktober 2014

Converse All Star, Digemari Pebasket Sampai Punker

Sepatu itu sangat sederhana. Tingginya semata kaki dilengkapi sol karet empuk berwarna putih dengan garis hitam. Di bagian telapak sebelah dalam terdapat dua lubang sirkulasi udara. Bagian depan luar dia atas jari kaki dilapisi bahan kenyal itu. Dengan warna bahan kanvas hitam kontras jahitan berwarna putih. Buat ukuran zaman itu sangat nyaman dipakai, pun hingga sekarang. Ya, itu adalah Converse Chuck Taylor All-Star.

Pabrik sepatu itu tidak pernah membayangkan kesuksesan semanis itu. Sejak didirikan pada 1908 di Malden, Negara Bagian Massachusetts oleh Marques Mills Converse mereka fokus membuat sepatu khusus musim dingin berbahan karet buat semua kalangan. Tujuh tahun kemudian mereka baru merambah dunia olahraga dengan membuat sepatu tenis, seperti dilansir www.wikipedia.org.

Dua tahun setelah membuat sepatu tennis, seorang pemain basket, Charles Hollis Taylor atau akrab disapa Chuck Taylor datang ke pabrik Converse. Dia mengeluh lantaran sepatu dia pakai tidak nyaman buat digunakan bermain basket.

Hasil bincang-bincang antara Chuck dan Bob Pletz, manajer olahraga, melahirkan ide pembuatan alas kaki khusus basket. Idenya adalah membuat sepatu nyaman buat diajak berlari ke mana saja, tanpa banyak jahitan, mudah dikendalikan, dan aman bagi para pemain. Saat itu saingan mereka hanya sepatu buatan A.G. Spalding yang sudah diproduksi selama dua dekade. Maka diluncurkanlah produk pertama Converse pada 1917.

Saat pertama kali diluncurkan, Converse hanya terdiri dari tiga jenis warna, yakni kanvas dan sol hitam, putih-putih dengan garis jahitan merah dan biru, serta badan sepatu dari kulit.

Desain sepatu basket awal Converse masih sangat sederhana. Tidak sampai setahun, Chuck merasa perlu memperbaiki performa alas kaki itu, utamanya mencegah cedera. Akhirnya lapisan kanvas pada bagian tumit ditambah lagi menjadi lebih tebal. Nama Chuck dan tanda tangannya pun disematkan pada logo sepatu.

Dalam waktu cepat, popularitas sepatu basket Converse meroket. Banyak atlit memuji kenyamanan dan ketangguhan alas kaki itu. Pabrik pun kebanjiran order. Selain itu Chuck Taylor didaulat menjadi penjual dan juru bicara merek itu.

Selain menjual produk, Converse menunjukkan kepedulian mereka terhadap perkembangan olahraga basket dengan membuat acara pelatihan bola basket ke seluruh Amerika.

Setelah sukses merambah dunia basket banyak atlit internasional melirik alas kaki itu buat dipakai di ajang Olimpiade. Pemerintah Amerika pun sempat mengontrak Converse buat menyediakan sepatu latihan kepada seluruh serdadu Negeri Paman Sam itu pada masa Perang Dunia II.

Di era 1960an, sepatu Converse tidak hanya tenar di dunia. Rupanya beberapa kalangan mulai dari musisi punk hingga pemain papan luncur hati tertambat dengan model sepatu sederhana itu. Alas kaki itu seolah simbol bagi kaum kreatif dan anti-kemapanan.

Meski perusahaan itu sempat terpuruk di era 1970an, tapi Converse tidak lekang dimakan zaman, bahkan makin populer. Tak pelak alas kaki fenomenal itu pun tidak hanya menjadi ikon olahraga tapi juga budaya populer, sampai saat ini.
(http://travel.kapanlagi.com/artikel/belanja/658-converse-all-star-digemari-pebasket-sampai-punker.html)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar